You are currently browsing the category archive for the ‘Sunyi’ category.

ini adalah sebuah dongeng di negeri Huwarakadah, bukan sebuah negeri nyata, bukan negeri di atas muka bumi.

Para penduduknya suka tawuran, tapi senyumnya amat manis dan sopan. Masyarakatnya doyan nyuri, tapi juga dermawan. Penghuni negerinya santun dan ramah, tapi doyan keributan.

Apa yang aneh dengan negeri Huwarakadah ini, kawan?

Punggawa negerinya bergaji minim, tapi hartanya berlimpah-limpah. Culasnya minta ampun, tapi maunya dapat jatah. Kesana wara-wiri dengan untaian perhiasan mewah. Ya permaisurinya, ya selirnya, ya budaknya.

Amat pintar bermain kata, dan fasih bersilat lidah. Hukum memang ada, tapi tanpa guna. Masyarakat lemah nyolong, kalangan menengah ngembat, golongan elit menjarah. Tapi itu berlangsung berhari-hari tanpa rasa bosan, apalagi rasa salah. Entah apalagi dosa.

itulah suasana sehari-hari di negeri Huwarakadah. jadi kamu jangan heran, kalau tiap hari ada tawuran, saban waktu ada keributan, tiap waktu ada pencurian, saling caki-maki, teriak umpat-umpatan. Itu adalah sebagian dari gaya hidup keseharian.

Cakar-cakaran saling menyalahkan, padahal hampir seluruh rakyatnya berlumuran nista. Tuding-menuding, sambil menyelamatkan diri masing-masing.

Sekali lagi ini cerita dongeng belaka.

Kawan, jika engkau ingin menjadi penyaksi betapa bisingnya demokrasi, tengoklah di Gedung Senayan. Hingar bingar, bahkan ada caci maki dan serapah kotor.

Bila ingin menjadi pembenci demokrasi, lihatlah bagaimana pemikiran mereka bergelut, argumentasi mereka berkelahi, apakah memakai dalil-dalil shahih yang berlaku di dunia? atau sekedar mengucapkan kata aneh tanpa makna, tapi keras dan nyaring… dengan atas nama Demokrasi? asal bunyi?

Bila anda penikmat keindahan warna demokrasi, jangan tengok di sana. Di sana warnanya agak buram, bahkan mungkin keruh dan jorok.  Tidak seelok logika akal sehat yang bertemu secara nyaman dan adem. Di sana, kadang emosi sudah menjadi panglima seluruh logika.

Mungkin gebrak meja biasa, teriak keras biasa, bising lumrah, tapi kalau bising kedombrangan tanpa makna…? apakah ini makna demokrasi yang sedang mereka suarakan..?

Entahlah… lebih baik ku nikmati gerimis di pagi buta, iramanya kadang berisik di atap rumah, tapi indah di pandangan mata.

by unai

Katamu, di kotamu…hujan datang lebih awal.  Pertengahan Juni hujan lebat acap membuat kotamu tergenang. Ada apa di bulan itu ?. Bulan dimana musim belum seharusnya berganti.   Banjir. Air meluah. Sama dengan airmata perpisahan kita ratusan purnama lalu.

Dan saat hujan kecilkecil pertama turun di pertengahan Oktober di kotaku …kau lebih dahulu memilih berlalu. Menyisakan  luka yang kian hari kian bernanah. Meninggalkan aku  dalam kenangan kisahkisah yang tak mampu kuhapus.

Siang hampir tua, mendung menggantung di langit barat daya. Pertanda hujan lebat akan datang. Kau tau?  setiap kali hujan turun, aku memilih menghabiskan waktu ; mematung di  bingkai jendela kaca, menikmati siluet hujan yang merambati kaca, meninggalkan jejak serupa jalan semut membawa bekal sembari mengenang sebuah kisah. Tentang cinta peri angin yang tak mampu menentramkan letih yang selama ini menggelisah di matamu.

Berkali kutulis namamu, pada helai kaca yang menampung titiktitik udara dari nafasku. Kutulis. Kuhapus. Kutulis lagi. Kuhapus lagi. Hingga kebas jemariku, membeku.

Awan hitam mendekat, seakan aku mampu menyentuhnya dengan berjinjit saja. Gemuruh petir susul menyusul, badai datang. Badai di akhir tahun memang kadang dasyat. Menakutkan, namun bagiku, langit jauh lebih indah setelah badai. Entah bagaimana menurutmu?.

Kini kau telah  pergi, dan jika memang benar bumi itu bulat, pastilah kita akan bertemu lagi di satu titik, lalu kita duduk bersama dan bersulang secangkir kopi, menyesapnya sambil menikmati hujan di warung tenda sambil bercerita tentang perjalanan yang membuat penat.

Tamantirto, 26 November 2008
Kado untuk seseorang yang tak bisa lepas dari belenggu masa lalu

tulisan eksotis ini aku cuplik dari http://negerimimpi.wordpress.com/

Ketika bulan desember tinggal tersengal-sengal hari, angin berhembus dengan amat dinginnya… membawa gumpalan mendung yang tak jua turun hujan…

Waktu melompat-lompat dengan amat malasnya, semalas sinar mentari yang menyusup di sisa-sisa mendung yang menggantung manja di langit,

hari berganti, bulan berubah, tahun berlalu…

apa yang kau lukis di langit? atau cuma menjadi penyaksi angin dingin dan mendung yang menggantung… di setiap desembar mau habis?

Aku rindu, suasana itu.

Saat hujan merintik satu demi satu dan angin menghiasinya dengan lembut. Langit muram kala itu. Angin dingin dan kabut yang tipis, memelukku dalam nuansa yang bersahabat. Gunung diam membisu, laut berombak-ombak berkejaran ke tepian di hempas angin.

Di antara kebisingan riuhnya musik politik, aku ingin menyepi sunyi dengan irama alam dan kedamaian. Biarkan saja mereka menabur seribu janji dan segudang kata-kata manis, aku tidak akan kepincut dibuatnya.

Kita tau siapa mereka, dan mereka tau siapa kita. Kita sudah saling mengenal dalam duka dan ketidakpedulian.

Suara kita manis di dengar hari-hari ini saja, ketika mereka butuh pundi-pundi suara untuk menghimpun tahtanya. Begitu mereka naik tahta, himpunan suara kita roboh tak mereka hiraukan.

Kita mengenal mereka selama ini…

Aku masih percaya, Kawan
Bahwa di antara gelapnya malam, masih ada bintang gemintang yang menaburi malam dengan pesona kerlipnya

Diantara keruhnya sungai, masih ada embun bening yang terselip dipucuk rerumputan
Masih ada pesona harapan, walaupun cuma setitik

Begitupun dengan gelapnya aura politik yang menyelimuti kehidupan kita,
Buramnya ribuan calon anggota legislatif yang belum kita ketahui jejak rekamnya
Samarnya tujuan puluhan partai politik yang berkibaran di langit Indonesia
Semuanya serba buram, gelap dan samar

Aku masih percaya, Kawan
Diantara semua keburaman dan kegelapan itu, masih ada setitik harapan yang tersisa
Peliharalah setitik harapan itu,
Biarkan nyala kerlipnya menerangi semua kegelapan itu

Masih ada cahaya itu, Kawan
Pilihlah dengan nurani yang bening, di tanggal 9 April 2009 nanti
Masih ada waktu beberapa hari, untuk mencari setitik harapan itu

Semoga 5 detik di dalam bilik nurani,
bisa menyuburkan harapan yang setitik itu

Pemuda itu tertunduk lesu

“…Garis asmara memang tidak mempertemukan kita di titik temu, tetapi garis kerinduan ini akan mengiringi setiap langkahmu…”

Dia menyaksikan sang dara pujaan, berjalan beriringan di altar suci, dengan gaun putih nan anggun, berjalan mesra dengan pangeran tampan yang membimbingnya menuju singgasana megah penuh mawar merah nan indah

Asmara memang tidak bisa dipastikan langkah akhirnya, Kawan
Tidak bisa dibujuk untuk memihaknya, tidak bisa dipaksa merangkul keduanya
Biarlah asmara akan senantiasa menjadi misteri sang waktu

Biarlah senyumnya yang indah merekah ditimpa hangatnya mentari pagi, tetap akan menjadi bayang-bayang mimpi sang pemuda
Biarlah langkah bahagia mengiri senandung cinta sang dara dan pangeran tampannya…

Biarlah senantiasa tetap menjadi misteri

Situ Gintung, danau seluas 21 hektare dengan kedalaman rata-rata sekitar 4 meter dan mampu menampung air sekitar 1 juta meter kubik itu, pada mulanya adalah bendungan kecil yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1932 dan selesai 1933 .

Setelah 76 tahun lebih menahan berat beban, Jumat 27 Maret 2009 bendungan itu pun ambrol. Menghanyutkan kabar duka puluhan jiwa.

Lantas terhenyaklah semuanya. Berteriak-teriak menyalahkan alam dan musibah. Memang, bukan manusia yang menentukan arah nasib dan mengira letaknya. Kita juga tidak kuasa untuk menolaknya. Tapi, kita punya kuasa untuk mengantisipasi agar tidak menjadi musibah.

Bayangkan…sejak 2 tahun belakangan ini masyarakat sekitar tanggul sudah khawatir, tetapi kekhawatiran itu kurang mendapat respon dari Pemerintah. Padahal pada Nopember 2008 lalu tanggul Situ Gintung pernah jebol walau belum parah. Anehnya, Pemerintah setempat belum berbuat secukupnya untuk mengatasinya. Bahkan early warning system (sistem peringatan dini) pun belum dibuat.

Contoh kasus lain, jalanan umum yang berlobang-lobang dan sering menyebabkan celaka, masih saja dibiarkan menganga. Kenapa semua ini masih saja berlangsung, kasat mata tanpa ada antisipasi ? Menunggu petaka kembali terulang, kah?

Jangan kambing hitamkan alam, kalau musibah menimpa. Karena alam sudah memberikan pertanda, dan kita cuma diam tanpa usaha. Kita hanya sibuk menyalahkan alam, setelah semua itu terjadi.

Berulang-ulang kejadian ini terjadi di seputar kita. Seperti memutar rekaman buram dan kita terus menikmatinya.
Kawan, antisipasilah sebelum alam menagih pertandanya.

Siang bolong yang amat terik. Sebenarnya saya malas untuk mencoba mengintip kegiatan kampanye sebuah partai di panggung terbuka. Namun, rasanya kurang berdasar kalau kita menilai sesuatu, hanya dari sudut pandang sempit yang penuh apriori.
Akhirnya, saya mencoba mengintip acara kampanye itu, untuk mengubur apriori sudut pandang saya, tentang kampanye selama ini. Dan mencoba menikmati rasa demokrasi di negeri ini.

Acara kampanye itu berlangsung di lapangan terbuka, kebetulan tak jauh dari rumah saya. Saya mencoba mengintip setiap kegiatan yang berlaku selama kampanye itu berlangsung, dari sebuah warung es cendol tak jauh dari arena lokasi kampanye.

Seperti kegiatan kampanye yang biasa aku saksikan di layar televise, kampanye itu berlangsung di lapangan terbuka, di panggang panas matahari yang terik di siang bolong.

Dengan berkonvoi, pendukung partai datang ke lokasi lengkap dengan bendera, kaos, atribut dan umbul-umbul. Mereka mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm, mengerahkan massa naik kendaraan terbuka melebihi kapasitas, dan seenaknya menguasai jalan raya. Peserta kampanye seolah tak peduli bahwa tingkahnya membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka juga tak mau tahu pengguna jalan lain mengumpat karena lalu lintas jadi macet, para pekerja tak bisa pergi ke tempat kerja dengan cepat, atau kuping mereka pekak mendengar deru sepeda motor.

Ternyata, suasana kampanye yang tergambar di layar televisi, sama persis dengan yang saya nikmati saat ini, di depan mataku. Rasa aprioriku makin kambuh, di siang yang terik ini.
Untung es cendol yang saya nikmati, menyegarkan tenggorokan dan suasana. Dan saya kembali mencoba membunuh rasa aprioriku, dengan tetap mencoba menikmati nuansa kampanye ini dan segelas es cendol.
“Anggap saja, ini bunga-bunga kampanye” hiburku dalam hati.

Di atas panggung, mulailah para calon anggota legeslatif berteriak-teriak menaburkan janji-janji manisnya. Kata-kata kesejahteraan, perubahan, perbaikan, kemakmuran dan lain-lain berlompatan keluar dari mulutnya.
Tapi di bawah panggung yang terik itu, massa pendukung partai seakan tidak acuh, dengan segala janji manis itu, mereka malah berteriak-teriak : “Musik lagi…goyang lagi! Musik lagi…goyang lagi…”
“Oke, pilihlah saya…dan nikmati lagu dangdut yang satu ini…” kata anggota Caleg itu

Praktis, tidak dapat saya ketahui program dan platform partai beserta calegnya pada kampanye di siang yang terik itu. Yang saya dengar cuma musik dangdut dan janji-janji. Selebihnya dipenuhi goyangan penyanyi dangdut dengan memakai baju ketat yang bisa membunuh sistem pernafasannya itu. Kampanye yang saya saksikan siang ini, tak ubahnya pertunjukan musik dangdut hajatan sunat di kampungku dulu.

Sebelum rasa aprioriku makin akut dan membunuhku, saya tinggalkan arena kampanye itu.

Blog Stats

  • 32.483 hits

Arsip